0
Riyadh - Pertumbuhan ekonomi Arab Saudi pada 2016 diprediksi melambat lagi, setelah mengumumkan rekor defisit sepanjang sejarah akibat kemerosotan harga minyak mentah dunia.

Jadwa Investment pada Rabu (30/12) memperkirakan ekonomi Saudi tumbuh hanya 1,9% tahun depan, dibandingkan 3,3% tahun ini dan 3,5% pada 2014. Eksportir minyak terbesar dunia itu pada Senin (28/12) mengumumkan rekor defisit anggaran US$ 98 miliar pada 2015 dan memproyeksikan defisit anggaran sebesar US$ 87 miliar untuk tahun depan.


Jadwa memperkirakan sektor perminyakan tumbuh 0,9% pada rata-rata produksi minyak mentah 10,2 juta barel per hari (bph). Untuk mendanai anggaran, pemerintah Saudi menguras cadangan fiskal dan menerbitkan obligasi di pasar domestik.

“Akibatnya, cadangan fiskal berkurang dari US$ 732 miliar pada akhir 2014 menjadi US$ 628 miliar per November 2015,” kata Jadwa.

Negara kerajaan ini diestimasikan menerbitkan obligasi domestik senilai US$ 30 miliar sejak Juli 2015. Akibatnya, utang pemerintah bertambah jadi US$ 38 miliar atau 5,8% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Saudi juga tahun ini mencatatkan defisit neraca transaksi berjalan yang pertama sejak 1998, yakni sebesar US$ 41,3 miliar atau setara 6,2% terhadap PDB. Defisit ini diprediksi berlanjut tahun depan.

Untuk menutupi kekurangan-kekurangan tersebut, pemerintah Saudi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif listrik, air dan tarif layanan umum lainnya hingga sebesar 80%.

Jadwa memperkirakan biaya subsidi energi tahun ini mencapai US$ 61 miliar, yang mana sebesar US$ 23 miliar mencapai US$ 23 miliar dan bensin US$ 9,5 miliar. Jadwa juga menyatakan, harga minyak yang digunakan untuk menghitung penerimaan dari minyak pada 2016 adalah US$ 40,3 per barel, turun dari US$ 64,8 per barel tahun ini.


Harga aktual minyak mentah di Saudi pada 2015 rata-rata sebesar US$ 49 per barel. Belanja investasi dalam anggaran tahun depan dipangkas 19,3% menjadi US$ 59 miliar.

Penerimaan negara Saudi pada 2015 anjlok menjadi US$ 162 miliar atau yang terendah sejak krisis finansial global 2009. Faktor penyumbang terbesar adalah kemerosotan penerimaan dari minyak sebesar US$ 123 miliar.

Kontribusi penerimaan minyak terhadap total penerimaan negara merosot jadi 73,% pada 2015, dari rata-rata 90% selama 10 tahun terakhir. 

Defisit anggaran Arab Saudi melonjak menjadi US$98 miliar atau Rp1.337 triliun tahun ini, sementara eksportir minyak terbesar dunia itu menghitung biaya anjloknya harga minyak mentah.

Pada anggaran pertama di bawah Raja Salman, kerajaan tersebut mengatakan pemasukannya mencapai US$162 miliar atau Rp2.211 triliun, turun 15% dari perkiraan resmi.

Belanja tahunannya mencapai 975 miliar riyal, sekitar13% melebihi perkiraan.

Harga minyak anjlok dari tingkat tertinggi selama lima tahun sebesar US$125 atau Rp1,7 juta per barel pada bulan Maret 2012 menjadi US$37,18 atau Rp507.507 saat ini.


Arab Saudi mengatakan pemasukan minyak merupakan 77% dari angka keseluruhan tahun 2015, atau turun 23% dibandingkan tahun lalu.

Negara anggota terbesar OPEC ini menolak memotong produksi, sehingga memaksa berbagai perusahaan di negara-negara lain untuk menghentikan sejumlah proyek dan memberhentikan stafnya.

Belanja proyek militer dan keamanan mencapai 20 miliar riyal di tahun 2015, kata Arab Saudi, setelah melakukan campur tangan di Yaman di samping aksi terhadap kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS).

Sebagian besar peningkatan belanja umum disebabkan gaji pegawai sipil dan militer Saudi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan baik & sopan

[NEWS][combine][animated][100]

[SHARING2INFORMATIONS][horizontal][animated][50]

[MARI BERBAGI ILMU & PENGETAHUAN][RECENT][animated][100]

 
Top
//