0
Potensi Emas Hitam/Minyak memang begitu penting bagi dunia khususnya dalam menggerakan roda perekonomian, karena potensi minyak memang diperlukan diberbagai sektor & kebutuhan sehari-hari. Kawasan Timur Tengah/Jazirah Arab begitu kaya akan lahan-lahan minyak stok-stok miyak mereka menggunung, itulah yang membuat mereka terus mengekspor minyak dalam jumlah banyak & murah. Mungkin berhenti/mengeringnya aliran sungai eufrat & munculnya gunung-gunung emas yang akan jadi perebutan & pembunuhan/peperangan sudah bagian dari tanda-tanda kiamat kali ya, apalagi akhir-akhir ini emas-emas hitam/minyak semakin melimpah ruah saja. Orang-orang diseluruh dunia akan datang berbondong-bondong untuk memperebutkan emas hitam/minyak. Bahkan ISIS selalu berupaya untuk merebut kawasan kilang-kilang minyak dikawasan negeri akhir jaman/syam untuk mendapatkan kekayaan dengan cara menjualnya secara ilegal. Daerah/kawasan syam atau yang di dalam Al-Quran di sebut negeri akhir jaman inilah yang akan menjadi perebutan, peperangan & pembunuhan hingga datangnya Pasukan keadilan kepempinan Imam Mahdi, dimana perang akan kembali ke peradapan kuno karena musnahnya segala kecanggihan teknologi diseluruh dunia.


Lalu jika harga minyak dunia terus menerus mengalami penurunan bukankah lebih baik? Ya, tanpa kemunafikan harus diakui bahwa semua orang pasti akan senang sekali bila harga minyak turun, karena mereka bisa mengisi/membeli bahan bakar kendaraan seperti mobil. sepeda motor, bahkan untuk kebutuhan memasak dan lain-lain dengan harga yang tak lagi mahal. untuk para konsumen/pemakai/pembutuh minyak sih sebenarnya lebih menguntungkan karena mereka tak lagi membeli minyak dengan harga yang mahal dan tentunya itu akan menghemat pengeluaran/uang mereka dalam membeli miyak. Tapi penurunan harga minyak justru berimbas sebaliknya pada negara-negara produsen/penghasil minyak karena dalam perang persaingan harga minyal mereka tetap tidak akan menang melawan kawasan Timur Tengah/Jazirah Arab sebagai penghasil minyak terbesar. Mahalnya biaya produksi minyak yang dilakukan negara-negara lain tak sebanding dengan minyak yang dihasilkan, dan dilema harga jual menyudutkan mereka apabila menjual minyak dengan harga yang mahal tentu saja tidak akan laku karena semua orang pasti lebih memilih untuk membili harga minyak dengan harga yang lebih murah yaitu dari kawasan Timur Tengah/jazirah Arab. Bahkan Ketegangan/Konflik hubungan Arab Saudi dengan Iran pun semakin  turut mempengaruhi penurunan harga minyak dunia. Dalam perang minyak Arab Saudi kalah bersaing melawan Iran yang menjual harga minyak lebiih murah. Bahkan Arab Saudi harus mengalami devisit anggaran yang cukup besar yang bisa menyeret pada situsi ekonomi terpuruk.

  
Sejumlah perusahaan di Amerika dan dunia terancam Bangkrut akibat penurunan harga minyak dunia yang terus berkelanjutan. Bahkan Arab Saudi sebagai produsen minyak mentah dunia terbesar Ke-2 di dunia juga pusing karena mengalami devisit anggaran yang parah. Ekonomi global dunia saat ini mengalami krisis yang cukup serius. Dampak buruk dari resisi ekonomi dunia itu terlihat secara menyeluruh di berbagai negara. Hal itu akan meruntuhkan sistem kapitalis bahkan menjadi cikal bakal bergesernya/runtuhnya mata uang dunia.
Bahkan sejumlah pengamat ekonomi memperkirakan krisis ini akan menimbulkan ledakan yang mengerikan yang menyebabkan runtuhnya negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan  Uni Eropa yang mereka perkirakan di tahun 2019, the Great Depression. 

 
Harga minyak dunia jatuh ke tingkat terendah baru pada Jumat (Sabtu pagi WIB), dan menyeret turun pasar saham ketika para investor bersiapkan untuk menghadapi peningkatan ekspor Iran ke pasar yang sangat kelebihan pasokan.

Mengakhiri kerugian tajam dalam satu minggu, harga-harga untuk ancuan global utama turun. Minyak mentah Brent North Sea turun tujuh persen di London dan West Texas Intermediate (WTI) di New York kehilangan sekitar enam persen pada Jumat.

Itu membawa kerugian menjadi lebih dari 21 persen sejak awal tahun, salah satu penurunan tertajam dalam beberapa tahun. Para pedagang masih bingung untuk mematok batas bawah harga minyak dunia, setelah kehancuran pasar dimulai 18 bulan yang lalu, menyapu lebih dari 70 persen dari harga minyak mentah.

Di perdagangan London, kontrak Brent untuk pengiriman Maret ditutup pada 28,94 dolar AS per barel pada Jumat, kehilangan 2,09 dolar AS dari Kamis ke tingkat terendah sejak Februari 2004.

Harga New York untuk minyak mentah WTI atau light sweet
untuk pengiriman Februari mencapai 29,13 dolar AS per barel sebelum berbalik naik menjadi berakhir di 29,42 dolar AS per barel, turun 1,78 dolar AS.



Percepatan kerugian minggu ini datang di balik pelambatan ekonomi Tiongkok, pengimpor minyak utama, dan harapan bahwa Iran akan segera mulai mengekspor sejumlah besar minyak mentah ketika sanksi nuklirnya dihapus, kemungkinan awal minggu depan dan mungkin pada Minggu.

"Itu akan menempatkan 500.000 barel per hari lebih banyak di pasar," kata James Williams dari WTRG Economics, seperti dikutip AFP.

"Segera India atau salah satu di Eropa akan membeli minyak itu," mengurangi pasar-pasar eksportir lain, katanya.

"Dan tidak ada indikasi Saudi akan mengurangi produksi mereka."
Analis Capital Economics Caroline Bain mengatakan pada Jumat bahwa data ekonomi AS yang mengecewakan juga menambah tekanan jual.

"Data industri dan ritel yang lemah, yang diterbitkan hari ini, lebih lanjut membebani harga. Sejauh ini pencetak kerugian terbesar adalah harga minyak, yang juga menghadapi prospek lonjakan pasokan jika sanksi-sanksi Barat terhadap Iran dicabut akhir pekan ini," katanya.

Berlanjutnya penurunan harga, menurut sejumlah analis, akan mendekati harga 20 dolar AS, dan telah mendorong gejolak di para eksportir karena pendapatan mereka jatuh.

Menteri sumber daya minyak bumi Nigeria Emmanuel Ibe Kachikwu minggu ini menyatakan bahwa ia mengharapkan pertemuan luar biasa kartel minyak OPEC pada "awal Maret" untuk membahas kejatuhan harga minyak mentah.

Tetapi Michael McCarthy, kepala strategi pasar di CMC Markets di Sydney, mengatakan harga mungkin telah mencapai atau mendekati akhir spiral mereka.

"Jika kita tidak di posisi terendah, kami sangat dekat dengan posisi terendah untuk minyak," katanya. 

Dampak krisis juga sangat dirasakan negara-nagara produsen minyak dunia seperti Arab Saudi, Venezuela, Iran, dan Negara-negara Teluk. Penurunan harga minyak dunia yang terus menerus ini juga mengakibatkan gangguan serius pada pasar modal/bursa saham, penurunan pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus, tingkat pendapatan masyarakat menurun, dan harga kebutuhan pokok yang meningkat dan pengangguran dimana-mana karena pemecatan/kebangkrutan perusahaan.
 
Goldman Sachs adalah lembaga perbankan yang paling terkenal di Amerika Serikat dan dunia. Perusahaan ini beroperasi di lebih dari 30 negara, memeliki enam cabang regional, dan lebih dari 100 kantor serta karyawan lebih dari 35.000. Total aset saat ini adalah 850.000.000.000 US $. Tentu penurunan harga minyak demikian akan sangat berpengaruh buruk pada negara-negara produsen minyak dunia.
Dr. Amr Adly menyebutkan dalam majalah Politik Internasional bulan September 2015 yang lalu, “Krisis dan depresi ekonomi dunia yang terjadi saat ini adalah yang terburuk dalam tiga abad terakhir, karena ekonomi dunia teracam oleh stagnasi dan resesi yang berkepanjangan”.
Krisis ekonomi ini sesungguhnya juga terjadi di Pusat Ekonomi Global, Amerika Serikat. Kendati Amerika Serikat senantiasa menutup-nutupi dengan memberikan data yang palsu atas persoalan ekonominya, Amerika sesungguhnya mengalami persoalan ekonomi yang serius.
Salah seorang Pakar Ekonomi Amerika, Todd Wood (dalam Artikel Koran Washington, Time US bulan Mei 2015 mengatakan: “Ekonomi Amerika Serikat berada diambang kehancuran, dan kondisi ekonomi Amerika saat ini benar-benar menjengkelkan. Mulai dari utang luar negeri yang sudah mencapai 20 trilyun dollar AS. Ditambah lagi dengan kecepatan penambahan hutang yang semakin tinggi. Todd menambahkan dalam artikelnya, bahwa Washington mungkin segera bangun setelah mengalami kebangkrutan ekonomi di negaranya.

Saat ini, satu-satunya yang masih bisa menyelamatkan ekonomi Amerika adalah, sikap Federal Reserve yang terus melakukan intervensi dengan mempertahankan suku bunga di tingkat yang sangat rendah”. Walaupun dengan terus melorotnya harga minyak, menjadikan permintaan atas dollar meningkat. Dan kabar terakhir, 12 orang yang menjadi penentu perubahan suku bunga Federal Reserve cenderung akan menaikkan suku bunga Bank sentral tersebut.
Kondisi sosial kemasyarakatan di Amerika Serikat juga semakin memburuk. Indeks kesengsaraan saat ini semakin meningkat. (Indeks kesengsaraan adalah keterkaitan antara inflasi dengan pengangguran riil).
Rakadz (salah seorang pakar ekonom Amerika, yang juga merupakan salah seorang intelejen dalam persoalan ekonomi Amerika) menyatakan dalam artikelnya “Apa yang terjadi pada dunia diambang tahun 2015? Ambang fase Baru dari Depresi Besar Ekonomi”. Dia menyatakan: “Bank Federal telah mencetak urang dengan sembarangan, bahkan trilyunan dollar AS. Federal Reserve telah berbohong dan menutupi indeks kesengsaraan yang semakin meningkat, yang paling tinggi dalam kurun 29 tahun terakhir. Dan rencana Amerika menaikan bunga diatas 2 % akan menyeret perekonomia AS pada tragedi baru”.

Resesi dunia saat ini sesungguhnya kelanjutan dari krisis yang terjadi di tahun 2008. Karena hakikatnya krisis itu tidak sembuh. Krisis tersebut telah menyebabkan ekspor yang melemah dari berbagai belahan dunia. Hal demikian akan menyebabkan lemahnya produksi di negara-negara industri. Kondisi demikian berdapak pada minimnya invetasi proyek-proyek strategis. Dampak terhadap negara-negara pengimpor bahan baku dan bahan energi adalah berkurangnya ekspor bahan-bahan dasar tersebut. Kondisi ini secara nyata pasti menimbulkan gelombang PHK di mana-mana. 

China juga mengalami krisis finansial yang serius. Krisis di China diawali dengan krisis finansial dan pasar saham. Krisis tersebut dimulai pada tahun 2014, dan semakin terasa di tahun 2015. Dan akhirnya bencana yang dialami China bukan terbatas di sektor pasar finansial, namun merambat ke sektor industri, dan tingkat pengangguran yang tinggi. Kerugiaan saat itu di China diperkirakan mencapai 3,2 trilyun dollar AS dalam waktu kurang dari satu bulan. Atau kurang lebih 1/3 dari nilai saham.

Eropa juga mengalami krisis, yakni di zona Euro. Kita telah ketahui krisis ini berawal dari krisis Yunani yang terakumulasi, sehingga menyebabkan Yunani tidak mampu membayar hutang. Ini menyebabkan Yunani terancam untuk dikeluarkan dari Zona Eropa.


Kondisi demikian bukan hanya terjadi pada Yunani. Portugal, Spayol, dan lain-lain juga mengalami krisis yang sama. Persoalan sesunggunya adalah ketika ketidakmampuan mereka membayar hutang yang mereka ambil saat menjadi syarat memasuki zona Euro.

Arab Saudi sebagai produsen minyak mentah dunia jelas terpengaruh. Pada tahun 2015 Arab Saudi mengalami defisit anggaran sebesar 98 milyar US $, sesuatu yang tadinya sulit dibayangkan. Defisit anggaran ini memaksa negara untuk melakukan efesiensi di bawah tekanan kreditur.
Dalam sebuah wawancara dengan “The Economist” baru-baru ini, Menteri Pertahanan Saudi Arabia, Purtera Mahkota Mohammad bin Salman menyatakan akan melakukan “Revolusi At Tasyriyah” di Arab Saudi, yakni dengan melakukan privatisasi di berbagai sektor vital masyarakat.
Dengan defisit anggaran yang ada, maka Privatisasi Model negara ke-3 akan diberilakukan atas perekonomian Arab Saudi dan Negara-negara Teluk. Termasuk privatiasai aset-aset vital publik, penerbitan hutang obligasi dengan bunga riba, penjualan pajak milik negara, termasuk aset-aset yang dekat dengan tanah Makkah dan Madinah.
Demikian pula dengan pajak nilai tambah akan dikenakan kepada masyarakat. Selain akan semakin menambah kemiskinan, pajak nilai tambah ini juga bertentangan dengan syari’at Islam. Dan yang paling penting, ragam kebijakan ini akan menyempurnakan hegemoni Barat secara ekonomi terhadap negara Haramain tersebut.

 
Berita terakhir yang cukup mengejutkan adalah, Perusahaan minyak terbesar di dunia – Saudi Aramco-- juga akan melakukan privatisasi dengan IPO (Initial Public Offering), yang pada akhirnya membuka lebar akan kepentingan asing untuk membeli dan melakukan hegemoni.
Tidak cukup di situ, para pejabat saudi juga mulai berbicara tentang privatisasi sektor kesehatan, di sektor pendidikan, industri persenjataan , dan perusahaan lain yang dikuasai oleh negara. Oleh sebab itu, persoalan anjloknya harga minyak dunia ini, bagi Arab Saudi akan berpengaruh pada kontrol dan kepemilikan atas aset-aset publik dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Yang kian membuat para pengamat ekonomi khawatir adalah bahwa sampai detik ini, gejala gejala resesi yang berkepanjangan itu tidak ada menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan semakin menimbulkan gejala baru. 

Pengamat Ekonomi Rusia, Alexander Aevazov mengatakan, bahwa dollar akan terus mengalami depressi. Pada awal tahun 2015 lalu, Dana Moneter Internasional juga telah memperingatkan resiko dari krisis ekonomi global yang baru ini.

 
Pengamat Ekonomi Amerika (Rakadz) mengatakan: “Amerika memasuki periode ekonomi yang paling gelap dalam sejarahnya pada tahun 2015 yang lalu.”

Penurunan permintaan minyak dunia akibat melambatnya ekonomi dunia juga dialami negara-negara yang tergabung dalam organisasi kerja sama ekonomi dan pembagunan (Organisation for Economic Co-operation and Development/ OECD).

Teori supply and demand adalah teori sederhana di mana jika pasokan sedikit dan pemintaan banyak, maka harga akan naik. Begitu pula sebaliknya. Dan inilah yang terjadi dengan harga minyak dunia yang terus turun. 

Sejak November 2014, permintaan minyak dunia terus mengalami penurunan. OPEC sebagai organisasi produsen dan pengekspor minyak yang mengontrol lebih dari 80% pasokan sekaligus harga minyak dunia pastinya mengetahui hal itu. Sebagai pedagang, nalurinya adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Begitu pula dengan OPEC.

Mengetahui harga minyak turun, organisasi di mana Indonesia pernah menjadi anggotanya itu, seharusnya mengambil langkah untuk meredam penurunan harga, agar fulus tetap mengalir mulus. Tetapi OPEC pada pertemuan bulan November 2014, tidak ada keputusan yang diambil, kecuali tetap melanjutkan pada target produksi sebesar 30 juta barel per hari.


Produksi minyak negara-negara anggota OPEC semakin berlimpah ketika Irak kembali memproduksi minyak setelah mati suri akibat perang sipil di Libya, yang mempengaruhi keamanan kilang-kilang milik Negeri 1.001 malam itu. Di sisi lain, produksi minyak negara non-OPEC juga meningkat sejak dibukanya terminal ekspor Es Sider and Ras Lanuf di Libya yang selama ini tidak beroperasi, pada July 2014 oleh pemberontak Libya.

Sementara itu, jauh di seberang samudera, Amerika sedang gencar-gencarnya menggenjot produksi minyaknya. Tetapi bedanya, minyak ditambang di lapisan bebatuan yang disebut shale, sehingga minyak yang dihasilkan dinamakan shale oil. Lewat teknologi fracking, perusahaan-perusahaan pengeboran minyak di Amerika Serikat mampu melepaskan gas atau minyak yang terperangkap di lapisan bebatuan yang luar biasa besar persediannya di perut bumi Negeri Hot Dog tersebut.

Meskipun kegiatan fracking ditentang oleh sebagian warga Amerika Serikat yang kuatir akan rusaknya lingkungan dan berakibat pada kesehatan manusia, pengolahan minyak lewat teknologi ini telah mendongkrak produksi minyak negara itu hingga mencapai 9 juta per barel, atau tertinggi sejak 30 tahun. Sebagai akibatnya, stok minyak dunia pun berlimpah.

Kombinasi melemahnya ekonomi dunia, sehingga mengurangi permintaan dan melimpahnya stok minyak dunia, berimbas pada menurunnya harga, dan berpengaruh pada harga BBM di pompa-pompa bensin Pertamina dan lainnya.

Harga minyak kemungkinan akan terus turun, apalagi Amerika sudah banjir dengan shale oilnya dan juga shale gas, biaya produksi shale oil Amerika, sangat murah yakni sekitar 5 - 10 dolar AS/barel atau jauh lebih murah dari biaya produksi minyak fosil.


Disisi lain, negara-negara di Timur Tengah/Arab sebagai penghasil minyak terbesar di dunia ini juga tetap ambisi untuk tidak mengurangi produksinya. Apalagi biaya pokok produksi mereka lebih murah ketimbang negara-negara lain, yaitu sekitar 5 dolar AS hingga 10 dolar AS/barel, katanya.

Murahnya biaya lifting di negara-negara Timur Tengah, itu disebabkan karena sumur-sumur minyak mereka penuh minyak, hal itu jauh berbeda dibanding dengan sumur minyak di Indonesia yang sudah nyaris "kering" sehingga perlu biaya tinggi untuk mengeluarkan minyaknya.
Setahun lalu, saat harga minyak bertengger di kisaran US$100 dolar per barel, Alwaleed Bin Tawal Alsaud dari Arab Saudi mengatakan harga minyak setinggi itu adalah bukan harga sesungguhnya dan situasi itu tidak benar. “Itu keliru” tegasnya.

Sebagai pemilik usaha yang minyak, seharusnya Alwaleed senang kalau harga minyak melambung tinggi, karena tentunya akan lebih banyak keuntungan yang didapatkannya. Tetapi tingginya harga tersebut akan ikut memacu negar-negara di dunia untuk menemukan sumber energi yang murah ketimbang minyak atau mengembangkan teknologi agar minyak yang dihasilkan bisa lebih murah.

Salah satunya adalah Amerika Serikat. Negara besar yang butuh bahan bakar banyak untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Bertahun-tahun negara ini mempunyai peran menentukan tinggi-rendahnya permintaan minyak dunia, yang berakibat pada naik atau turunnya harga. Kalau cadangan minyak Negeri itu sedang tinggi, maka permintaan minyak dunia cenderung turun, begitu pula sebaliknya.

Musim dingin adalah salah satu hal yang juga ikut menentukan tingginya harga minyak dunia. Butuh energi dan bahan bakar lebih untuk melewati musim dingin. Untuk itu harga minyak dipastikan bakal naik. Tetapi hal yang tidak biasa terjadi pada musim dingin kali ini, di mana harga minyak seharusnya tinggi karena permintaan bakal naik. Hal inilah yang diantisipasi oleh Presiden Jokowi dengan menaikkan harga BBM dalam negeri, dan menimbulkan gelombang protes.


Kekuatiran Alwaleed menjadi kenyataan, manakala Amerika Serikat tak lagi kuatir akan kebutuhan minyaknya tak terpenuhi dan bakal mengimpor minyak yang harganya selangit, berkat ladang-ladang shale oil yang terus ditambang dengan memanfaatkan teknologi fracking terbaru. (Ada perang di balik turunnya harga minyak).

Untuk itulah juragan minyak dunia itu mendukung penuh langkah negaranya, Arab Saudi yang memutuskan tidak mengurangi produksi minyak, meskipun permintaan turun. Dan menurutnya keputusan itu adalah pintar dan bijaksana. Pertimbangannya adalah kalau Arab Saudi memangkas produksinya, maka ada yang bakal memanfaatkan “jatah” produksinya itu. “Misalnya Arab Saudi mengurangi produksi 1 – 2  miliar barel, maka kekurangannya akan diproduksi negara lain”tuturnya kepada USA Today.
Keputusan tidak mengurangi produksi minyak itu membuat harga minyak terus turun. Hal tersebut tak urung membuat kondisi perekonomian negara-negara pengekspor minyak dunia amburadul. Arab Saudi sebagai negara pengekspor minyak terbesar kedua di dunia dengan produksi minyak tahun 2014 sebesar 9,7 juta barel per hari, harus menghadapi defisit neraca perdagangan pada 2015 sekitar US$50 miliar atau Rp600 triliun.

Perusahaan pertambangan minyak pun terkena imbasnya, salah satunya adalah Schlumberger. Perusahaan penyedia jasa untuk eksplorasi minyak bumi itu sejak pertengahan tahun lalu telah merumahkan 9.000 pegawainya. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi menurunnya kebutuhan eksplorasi dan produksi pada 2015.  

Kalau minyak dunia, yang dikontrol oleh OPEC,  harganya di atas US$100 per barel, maka sudah tentu produksi minyak OPEC tidak bisa bersaing. Apalagi, saat ini fracking mulai diterapkan di banyak negara. Hal itu semakin membuat negara-negara di dunia tidak lagi harus tergantung pada minyak yang diproduksi OPEC.

 
Untuk itu, OPEC menyatakan “perang” terhadap shale oil dan fracking. Caranya adalah dengan membuat harganya terus turun, sehingga harganya lebih rendah dari biaya produksi untuk menghasilkan satu barel shale oil. Dan itu berarti terus memproduksi minyak, meskipun peminatnya kurang. Hal itu dimungkinkan, karena ongkos produksi minyak per barel di negara-negara anggota OPEC (sebagian besar Timur Tengah), hanya sekitar US$17 pada tahun 2009. 
Penurunan harga minyak dunia saat ini mau tak mau membuat Amerika Serikat dengan fracking-nya ketar-ketir diambang kurugian. Pasalnya, kalau harga minyak per barelnya lebih rendah dari ongkos produksi, bisa dipastikan booming fracking akan terhenti. Mana ada orang usaha yang mau rugi? Begitu juga Amerika yang pastinya tak mau menderita kerugian/kebangkrutan Fracking & shale oil/shale gas yang dimilikinya. 
Harga minyak mencapai posisi terendah sejak tahun 2003 pada awal perdagangan Senin, karena pasar bersiap untuk meningkatnya ekspor Iran setelah pencabutan sanksi terhadap negara itu pada akhir pekan.

Pada hari Sabtu, badan pengawas nuklir PBB mengatakan Teheran telah melakukan komitmennya untuk mengurangi program nuklirnya, dan Amerika Serikat segera mencabut sanksi yang memangkas ekspor minyak anggota OPEC sekitar 2 juta barel per hari (bph) sejak pra-sanksi mereka 2011 yang mencapai puncak ke sedikit lebih dari 1 juta barel per hari.




“Iran sekarang bebas untuk menjual minyak sebanyak itu ingin kepada siapapun dan pada berapa harga untuk bisa mendapatkan,” kata Richard Keponakan, direktur program  Economic Statecraft, Sanctions and Energy Markets at Columbia University’s Center on Global Energy Policy.

Iran siap untuk meningkatkan ekspor minyak mentah sebesar 500.000 barel per hari, wakil menteri perminyakan yang mengatakan pada hari Minggu.

Harga minyak mentah berjangka AS turun 58 sen ke $ 28,84 per barel setelah mencapai terendah tahun 2003 pada $ 28,36 pada awal sesi.

Harga minyak mentah internasional Brent jatuh ke $ 27,67 per barel pada Senin pagi, terendah sejak tahun 2003, sebelum pulih ke $ 28,25 oleh 0103 GMT, masih turun lebih dari 2 persen dari posisi pada Jumat.

“Pencabutan sanksi terhadap Iran akan melihat tekanan lebih lanjut pada minyak dan komoditas secara lebih luas dalam jangka pendek,” kata ANZ Senin. “Strategi kemungkinan Iran dalam menawarkan diskon untuk menarik pelanggan bisa melihat tekanan lebih lanjut pada harga dalam waktu dekat,” tambahnya.

Potensi ekspor baru Iran datang pada saat pasar global sudah pulih dari kelebihan pasokan tajam sebagai produsen memproduksi jutaan barel atau lebih minyak mentah setiap hari lebih dari permintaan, meruntuhkan harga minyak mentah oleh lebih dari 75 persen sejak pertengahan 2014 dan oleh lebih seperempat sejak awal 2016.


 
Lalu, apakah harga Emas Hitam/Minyak akan terus turun? Lalu Apakah masyarakat lebih suka bila harga minyak turun atau apakah masyarakat lebih suka/memilih untuk membeli minyak dengan harga yang mahal..?

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan baik & sopan

[NEWS][combine][animated][100]

[SHARING2INFORMATIONS][horizontal][animated][50]

[MARI BERBAGI ILMU & PENGETAHUAN][RECENT][animated][100]

 
Top
//