0
Berita cukup heboh baru-baru ini di Amerika adalah tentang CIA yang ketahuan berbohong terkait program memata-matai anggota senat. Ini bukan kebohongan CIA yang pertama. Sebelumnya, CIA berbohong menutupi progam mematai-matai warga sipil yang kemudian dibongkar oleh Edward Snowden. CIA juga berbohong tentang program penyiksaan tahanan yang melanggar HAM.


Anehnya, yang dijebloskan ke penjara oleh rezim Obama bukanlah para pelaku penyiksaan melainkan para whistleblowers, di antaranya bekas karyawan CIA, John Kiriakou yang membongkar aktivitas ilegal CIA ini ke media. Obama yang pada masa kampanye menjanjikan pemerintahan yang transparan justru menghukum banyak whistleblowers. Itu sebabnya Snowden minta suaka ke luar negeri. Menurut Kiriakou, Obama dikelilingi penasehat intelijen yang sama dengan Bush. Meski presiden berganti, tidak ada pergantian kebijakan program intelijen dan anti terorisme.

CIA seperti tidak tersentuh hukum, seperti halnya Pentagon. Pusat militer Amerika ini merupakan satu-satunya lembaga federal yang tidak pernah diaudit. Padahal, Pentagon yang dibiayai pajak rakyat terkenal dengan pemborosannya. Beberapa kali ada laporan kehilangan senjata, misalnya yang senilai $626 juta di Afghanistan, 190 ribu senapan AK-47 dan pistol di Iraq, serta terjegal banyak kasus korupsi.

Pentagon pun dilaporkan sebagai penyebab maraknya korupsi di Afghanistan. Dengan dukungan dana pajak yang melimpah dan kekebalan hukum, tak heran jika bidang militer dan intelijen pun menjadi lahan bisnis menggiurkan. Jurnalis independen, Jeremy Schahill dalam kesaksiannya di depan anggota senat memaparkan bagaimana industri militer swasta mengeruk keuntungan besar atas nama perang melawan teroris di Iraq.


Perang Iraq pun disebut-sebut sebagai perang dengan keterlibatan kontraktor militer swasta terbesar dalam sejarah. Robert Greenwald, sutradara film dokumenter "Iraq for Sale" memaparkan bagaimana cara industri militer swasta bisa terlepas dari jerat hukum dan tetap mendapat kontrak jutaan dollar. Mereka merekrut mantan-mantan petinggi militer yang punya jaringan kuat dan menggelontorkan dana untuk melobi anggota-anggota senat.

Apapun cara dihalalkan untuk mengeruk keuntungan dari perang, termasuk dengan mengadu domba, memperuncing konflik ras dan agama. Sebuah film dokumenter, hasil investigasi media Inggris, The Guardian dan BBC Arab menyajikan bukti-bukti aktivitas ilegal militer Amerika di Iraq yang berperan mengobarkan perang sektarian antara Sunni dan Shia.

Dikisahkan, James Steel, mantan kolonel yang terlibat dalam perang kotor, "dirty wars" di Amerika latin tahun 80an berada di Iraq sejak 2003 sebagai kontraktor sipil bidang energi. Sebagai orang sipil, Steel sebenarnya tak punya wewenang dalam bidang militer. Kenyataannya, ia bebas berada di tengah-tengah elit militer untuk observasi.

Rekam jejak Steel tercatat dari mulai Vietnam, El Salvador, Nikaragua, hingga Panama. Di Nikaragua, Steel terlibat penjualan senjata ilegal. Di El Salvador, Steel melatih pasukan bersenjata semacam "death squad" pro pemerintah yang brutal dan tak segan melakukan aktivitas pelanggaran HAM berat, seperti penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan. Pasukan Steele "berjasa" mengobarkan perang saudara El Salvador (1986) yang puncaknya memakan korban jiwa puluhan ribu rakyat sipil.

Dalam debat calon presiden 2004, Dick Cheney menegaskan bahwa El Salvador bisa menjadi contoh baik untuk diterapkan di Afganistan dan Iraq. Pada 2004, militer AS terkejut dengan intensitas perlawanan Sunni. Jumlah prajurit AS yang tewas meningkat drastis.

Ini menjadi alasan pemerintah AS untuk merekrut Steel. Keahliannya digunakan untuk membentuk "death squad" Shia melawan Sunni. Anehnya, Steel juga merangkul seorang jendral Sunni, Adnan Thabit untuk memimpin kelompok bersenjata Sunni dengan motto "teror melawan teror".

Tak lama kemudian, Iraq jatuh ke dalam perang sektarian Sunni-Shia. Pada puncaknya, 3000 mayat dalam sebulan tersebar di jalanan Iraq. Banyak di antara mereka orang tak bersalah dan di tubuh mereka terdapat tanda-tanda penyiksaan. Siapa di balik ISIS? Seperti halnya perlawanan Sunni 2004, sepak terjang ISIS atau IS (Islamic State) tahun ini pun disebut-sebut mengejutkan AS.

Iraq kembali berada di ambang perang sektarian Sunni-Shia. IS terkesan sakti dan menyeramkan karena mampu menguasai kota Mosul, ibukota Provinsi Ninawa, kota kedua terbesar di Iraq. Tentara dan polisi Mosul dikabarkan kabur menyerah tanpa syarat saat mendengar IS mendekat. Yang tidak banyak diberitakan media, aparat keamanan Mosul sebenarnya bukan kabur, melainkan diperintah untuk meninggalkan markas dan mengabaikan persenjataan militer, bahkan menanggalkan seragam.

Alhasil, IS dengan mudah dan dalam waktu singkat menguasai Mosul dan memanen berbagai peralatan militer buatan Amerika. Menurut anggota parlemen Iraq bidang pertahanan dan keamanan, Hakim al-Zamily, hanya orang dalam pemerintahan perdana menteri Nouri al-Maliki yang bisa memberi perintah seperti itu.

Dalam sebuah wawancara di media Iraq, Atheel al-Nujaifi, politisi terkenal Sunni yang menjabat gubernur Ninawa mengungkapkan bahwa kejatuhan Mosul dikarenakan tak ada dukungan militer dari pusat. Berbeda dengan umumnya laporan media, banyak politisi Iraq percaya, jika didukung pusat, militer Iraq mampu menangkal IS dari Mosul. Nujaifi yang kini beroperasi di luar kota Mosul menghimbau kaum Sunni untuk tidak mendukung IS. Menurutnya, banyak orang Sunni yang menyadari bahaya IS, tapi mereka enggan dan takut menolak, bahkan mendukung IS karena tekanan konflik Sunni-Shia.


Setelah jelas bahwa militer Amerika berperan besar dalam mengobarkan konflik Sunni-Shia jilid pertama, bagaimana peran mereka dalam konflik jilid kedua dengan IS sebagai aktor utama? Petinggi militer Iran Hassan Firouzabadi menyatakan bahwa IS adalah buatan AS-Israel. Berbeda dengan pemberitaan banyak media Amerika, Firouzabadi menegaskan Iran tidak merasa perlu mengirim tentara ke Iraq untuk melawan IS dan melindungi kaum Shia. Ia yakin, Iraq sendiri mampu mengatasinya.

Di Amerika, beberapa pihak secara langsung menuduh pemerintah AS mendanai dan melatih IS. Contohnya, anggota senat Rand Paul. Dalam wawancara CNN, Paul menegaskan ketidaksetujuannya atas keterlibatan Amerika dalam konflik di Timur Tengah. Ia menjelaskan bahwa pemerintah Amerika menciptakan surga teroris dengan mendanai dan mempersenjatai IS di Suriah melawan Assad.

Meski masih sulit diverifikasi, pendapat Paul ini bukan tanpa dasar. Militer dan intelijen AS sudah beberapa kali terbukti "mesra" tapi kemudian memerangi kelompok-kelompok yang mereka sebut militan, ektrimis, teroris. Atau sebaliknya, memerangi tapi kemudian merangkul. Misalnya dalam kasus James Steel, Pentagon yang sebelumnya anti, akhirnya merekrut kelompok militan Mahdi Army dan Badr Brigade. Masalahnya, jika Paul begitu yakin dan memiliki informasi siapa pejabat Amerika yang memberi otoritas mempersenjatai IS, maka informasi ini harus segera dibuka agar yang bersangkutan dapat diseret ke pengadilan.



Kenyataannya, IS malah dijadikan alasan oleh Amerika untuk kembali melancarkan agresi militer di Iraq. Kamis malam, Obama mengumumkan rencana serangan udara di Iraq. Kelompok IS terbukti makin memperpanjang perang dan penderitaan seluruh rakyat Iraq.

Dalam menanggapi isu IS, pemerintah Amerika seharusnya berjiwa besar mengakui kesalahan dan kegagalan misi membawa demokrasi dan hidup yang lebih baik di Iraq. Media Amerika seharusnya berhenti meminta solusi masalah Iraq kepada mantan-mantan pejabat yang dulu telah berbohong berkali-kali untuk melegitimasi perang Iraq.

Seluruh elemen masyarakat harus menuntut agar pejabat-pejabat militer Amerika yang dicurigai bersalah melakukan pelanggaran HAM berat dalam mengobarkan konflik sektarian di Iraq diseret ke pengadilan. Rakyat Amerika yang umumnya merasa lebih beradab dari bangsa Iraq tidak bisa lari dari tanggung jawab untuk membangun kembali peradaban yang hancur dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Bahkan Rusia yang datang memberi bantuan ke syria untuk memerangi & membongkar kedok ISIS selalu di kecam keras oleh Amerika. Taliban yang menjadi musuh kuat bagi Amerika  juga pernah dikait-kaitkan dengan ISIS, namun menolak pernyataan tersebut karena pemimpin Taliban menegaskan bahwa Taliban bukanlah ISIS karena perilaku ISIS yang tak sesuai dengan perilaku Taliban. Perilaku ISIS dinilai Taliban terlalu melampaui batas dari norma-norma jihat dan islam. Taliban & Rusia pun sempat menjalin berbagai hubungan informasi dengan Rusia untuk memerangi ISIS meski Amerika terus mengkliam Rusia terlalu ikut campur.

Jika keadilan benar-benar ditegakkan, tentu rakyat Iraq yang merasa tertindas tidak akan merasa perlu melakukan tindakan ekstrim untuk bertahan hidup.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan baik & sopan

[NEWS][combine][animated][100]

[SHARING2INFORMATIONS][horizontal][animated][50]

[MARI BERBAGI ILMU & PENGETAHUAN][RECENT][animated][100]

 
Top
//